BANDARLAMPUNG�� Ada beberapa fakta menarik yang terungkap dalam sidang kasus fee proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lampung Selatan (Lamsel) dengan terdakwa Agus Bhakti Nugroho, anggota nonaktif DPRD Lampung. Dalam sidang itu, jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri membeberkan beberapa nama sebagai penyetor proyek.
Dihadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Tanjungkarang, Kamis, 13 Desember 2018, Agus BN didakwa JPU menerima uang sebesar Rp 72,742 miliar selama tiga tahun (2016-2018). Uang ini merupakan setoran fee proyek di PUPR Lamsel.
Adapun menurut JPU, uang yang diterima Agus BN sebagai setoran fee proyek diterima dari sejumlah pihak. Di antaranya, dari mantan Kepala Dinas PUPR Lamsel Hermansyah Hamidi, Kepala Dinas PUPR Lamsel nonaktif Anjar Asmara, dan Kabid Pengairan Dinas PUPR Lamsel Sahroni. Uang bersumber dari setoran sejumlah rekanan yang mendapatkan proyek di Dinas PUPR Lamsel dalam kurun 2016-2018.
Misalnya tahun 2016, Agus BN diduga menerima uang dari Sahroni sebesar Rp26,073 miliar dan dari Ahmad Bastian sebesar Rp9,6 miliar.
Lalu tahun 2017, Agus BN kembali menerima uang dari Sahroni sebesar Rp 23,669 miliar serta Rusman Effendi sebesar Rp5 miliar.
Selanjutnya tahun 2018, dari Anjar Asmara, terdakwa menerima uang sebesar Rp 8,4 miliar. Dari total penerimaan fee proyek, sebagian diserahkan terdakwa ke Zainudin Hasan (bupati nonaktif Lamsel dan sebagian digunakan untuk kepentingan Zainudin Hasan.
Dalam dakwaan itu, Ali Fikri juga merinci sejumlah aliran dana, khususnya yang dipergunakan untuk membiayai kepentingan pribadi Zainudin Hasan. Misalnya, tahun 2016 membayar pembelian tanah seluas 1.584 meter persegi seharga Rp 475,5 juta kepada Rusman Effendi, dosen STAI YASBA Kalianda, Lampung Selatan.
Kemudian Februari 2016, membayar pekerjaan pembangunan rumah dan masjid milik Zainudin Hasan di Kalianda sebesar Rp3,826 miliar.
Uang itu diserahkan ke Ahmad Bastian selaku kontraktor pembangunan.
Tahun 2016, terdakwa memberi uang kepada Bobby Zulhaidir (orang dekat Zainudin Hasan) untuk membayar pembelian tanah seluas 80 hektare di Desa Sukatani milik Zainudin Hasan sebesar Rp8 miliar.
Di akhir tahun 2016, terdakwa kembali memberikan uang ke Bobby sebesar Rp600 juta untuk beli tanah di Sidomulyo guna usaha asphalt mixing plant yang dikelola Bobby.
Pada awal 2017, terdakwa memberikan uang Rp 3 miliar untuk pembangunan rumah dan masjid milik Zainudin Hasan. �Masih di awal tahun 2017, terdakwa membayar Rp 1 miliar untuk (pembelian) saham pribadi Zainudin Hasan di Rumah Sakit Airan (Raya),” sebut Ali.
Pada awal 2017, kembali terdakwa membayarkan dana pembelian tanah Zainudin Hasan di Desa Marga Catur, dekat Pondok Pesantren Gontor, seluas 83 hektare kepada Thamrin selaku perantara masyarakat transmigrasi.
Selain itu dalam sidang ini, untuk kesekian kalinya nama Nanang Ermanto disebut menerima uang dugaan korupsi�fee proyek. Dalam dakwaannya, JPU mengungkap aliran dana dari�Agus BN ke Nanang. Dimana dalam kurun waktu 2017-2018, Nanang disinyalir menerima uang sebanyak lima kali dari terdakwa.
Dihadapan Hakim Ketua Mansur Bustami, JPU Ali Fikri menguraikan Agus BN telah lima kali menyerahkan uang ke�Nanang. Pertama 30 Januari 2017 sebesar Rp15 juta. Tujuannya membantu acara konsolidasi syukuran kemenangan di Lamsel.
Lalu, 8 Februari 2017 sebesar Rp50 juta�yang diserahkan ke Nanang di Posko Way Halim Permai untuk operasional Nanang. Kemudian, sekitar bulan Juni 2018 �sebesar Rp50 juta juga untuk operasional Nanang Ermanto.
Selanjutnya sekitar bulan Juli 2018 sebesar Rp100Juta. Menariknya uang itu dimaksudkan untuk membantu kegiatan pelantikan Banteng Muda Indonesia (BMI). Terakhir sekitar bulan Juli 2018 sebesar Rp50 juta. Ini, sebagai titipan uang duka dari Bupati Zainudin Hasan ke Nanang.(red/net)