LAMPUNG – Ketika negara membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), banyak pihak mendukung niat baik ini: menjaga kelestarian hutan, menertibkan pemanfaatan lahan, dan mencegah kerusakan lingkungan. Namun pertanyaan penting yang jarang disorot adalah apakah penertiban itu juga adil? Apakah kebijakan itu mempertimbangkan moralitas dan kemanusiaan, terutama terhadap masyarakat yang telah lama hidup di kawasan tersebut?

Menurut Erwin Remy, Ketua DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Lampung, Selasa (5/8/2025), di berbagai daerah, kita melihat realitas yang rumit. Petani kecil, masyarakat adat, hingga transmigran—yang kadang sudah puluhan tahun tinggal dan menggarap lahan di kawasan yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan—tiba-tiba dianggap ilegal. Mereka diusir, digusur, bahkan dikriminalisasi atas nama penegakan hukum kehutanan.
Padahal, banyak dari mereka adalah warga negara yang tinggal di sana bukan karena niat merusak, tapi karena kebijakan masa lalu negara sendiri—seperti transmigrasi, relokasi, atau pengabaian terhadap klaim adat dan kearifan lokal.

“Apakah adil jika negara tiba-tiba hadir dengan status “penertiban” tanpa menyelesaikan akar masalah historis dan sosialnya? Inilah yang menjadi masalah moral dalam kebijakan PKH: ketika hukum ditegakkan tanpa kepekaan terhadap sejarah, ketimpangan, dan realitas sosial yang kompleks, maka penegakan hukum itu bisa berubah menjadi ketidakadilan yang dilegalkan,”ungkapnya.

Erwin sepakat bahwa negara memang harus menjaga hutan, tapi negara juga harus menjaga rakyatnya yang hidup dari dan bersama hutan. Masyarakat adat bukan perusak, mereka justru penjaga hutan paling konsisten. Petani kecil bukan pelaku deforestasi, mereka bagian dari sistem pangan yang selama ini menopang kehidupan bangsa.

Moralitas kebijakan publik mengharuskan negara tidak hanya bertanya “apa yang legal?”, tapi juga “apa yang adil dan manusiawi?”. Dalam konteks PKH, keadilan sosial harus ditempatkan sejajar dengan konservasi. Jangan sampai kita menyelamatkan pohon, tapi mengorbankan manusia, beber Erwin.

Erwin menegaskan, sudah saatnya Satgas PKH berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar penertiban. Negara harus hadir sebagai fasilitator penyelesaian konflik agraria, bukan sekadar sebagai “penertib” sepihak. Proses verifikasi harus terbuka, partisipatif, dan memihak kepada rakyat kecil yang terdampak.

“Kita tidak bisa membangun masa depan hijau di atas penderitaan. Kita tidak bisa bicara keberlanjutan jika yang dipinggirkan adalah orang-orang yang selama ini hidup selaras dengan alam. Hutan butuh perlindungan, tetapi manusia juga butuh pengakuan dan keadilan”, ujarnya.

Erwin mengingatkan, jika negara ingin dihormati dalam urusan kehutanan, maka keadilan ekologis harus berjalan seiring dengan keadilan sosial. Menjaga hutan adalah tindakan bermoral, tapi hanya jika dilakukan dengan menghormati hak dan martabat manusia. (*/iman)