JAKARTA – Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila), Dr. Budiyono, S.H., M.H., menghadiri undangan rapat bersama Panitia kerja (Panja) Komisi III DPR-RI, Senin 8 Desember 2025. Pada kesempatan ini, Budiyono didampingi rekannya Advokat Agus Bhakti Nugroho, S.H., M.H., dari Kantor Hukum NP & Co.LAW FIRM, Nugroho Pratomo AND Corporate.
Didepan pimpinan dan anggota Komisi III DPR-RI, Dr. Budiyono menyampaikan legal research atau penelitian hukum. Yakni tentang kajian Reformasi Kepolisian Republik Indonesia.
DASAR HUKUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 ayat (4): Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”., TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, a) Pasal 7 ayat (2): Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. b) Pasal 7 ayat (3): Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. TAP ini merupakan landasan utama reformasi sektor keamanan (security sector reform) pasca 1998. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia a) Pasal 8: Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden, dan Kapolri dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b) Pasal 11 ayat (1): Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. UU ini mengoperasionalkan pengaturan TAP MPR VII/2000 dalam sistem ketatanegaraan modern.
PERMASALAHAN
Apakah diperlukan reposisi institusional Polri ke bawah kementerian atau lembaga lain sebagai bagian dari reformasi kepolisian, ataukah Polri harus tetap berada di bawah Presiden sesuai kerangka konstitusional, UUD 1945, TAP MPR VII/2000, dan UU 2 Tahun 2002; dan reformasi seperti apa yang diharapkan untuk menjadikan Polri yang profesional?
Pembahasan
- Reposisi Institusi Polri
Salah satu kehendak rakyat yang harus dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan negara berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah terlindunginya seluruh rakyat, terciptanya keamanan dan ketertiban. Maka oleh karena itu, kehendak tersebut ditaungkan dalam pembukaanya UUD 1945
“….membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.
Dengan demikian, untuk terwujudnya keamanan, ketertiban dan terlindunginya rakyat tersebut, maka perlu ada alat negara yang memiliki fungsi melindungi rakyat dan menjaga ketertiban guna terwujudnya tujuan pembentukan negara tersebut. Maka dibentuklah lembaga Kepolisian Latar Belakang Historis dan Konstitusional Posisi Polri.
Secara historis, kepolisian di Indonesia mengalami beberapa fase penting:
a) Masa Kolonial dan Awal Kemerdekaan
– Pada masa Hindia Belanda, kepolisian merupakan alat kekuasaan kolonial untuk menjaga ketertiban dan kepentingan pemerintah jajahan.
– Setelah Proklamasi 1945, Kepolisian Negara Republik Indonesia dibentuk sebagai bagian dari aparatur negara yang masih mencari bentuk, sempat berkoordinasi dengan beberapa kementerian (termasuk Dalam Negeri) dan berada dalam dinamika penataan TNI–Polri.
b) Masa Orde Baru: Integrasi dalam ABRI
-Pada periode Orde Baru, Polri berada dalam satu wadah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
– Konsekuensinya, fungsi kepolisian ikut terpengaruh doktrin keamanan nasional yang kuat bernuansa militeristik, dengan prioritas stabilitas politik dan keamanan rezim.
c) Reformasi 1998 dan Pemisahan TNI–Polri
– Tuntutan reformasi menegaskan perlunya pemisahan tegas antara pertahanan (TNI) dan keamanan dalam negeri (Polri).
– TAP MPR VII/MPR/2000 menjadi tonggak hukum yang menempatkan Polri di bawah Presiden sebagai lembaga sipil, serta memisahkannya dari TNI.
-Sejak saat itu, Polri diarahkan menjadi civilian police yang profesional, modern, dan dekat dengan masyarakat.
d) Konsolidasi Reformasi melalui UU 2/2002
– UU 2/2002 menguatkan mandat Polri sebagai alat negara di bidang keamanan dan ketertiban, sekaligus menetapkan mekanisme akuntabilitas melalui pertanggungjawaban Kapolri kepada Presiden dan proses persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentiannya.
– Desain ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan: Polri kuat dari sisi kewenangan, namun tetap berada dalam kontrol politik demokratis (Presiden–DPR).
Latar belakang ini menunjukkan bahwa penempatan Polri di bawah Presiden bukanlah kebetulan, melainkan hasil proses sejarah dan politik hukum yang panjang untuk menghindari kembali pada model kepolisian yang terlalu militeristik maupun terlalu subordinatif terhadap birokrasi kementerian teknis. Menempatkan Polri Langsung dibawah Presiden dan menjadikan Polri sebagai Institusi yang mandiri dalam UU Kepolisian tentunya diiringi dengan harapan agar Polri dapat membangun citra diri sebagai polisi negara yang juga berarti polisi rakyat, maka tentunya Polri harus dapat memeposisikan diri pada posisi yang tidak memungkinkan keberpihakan selain keberpihakan kepada hukum dan rakyat.
Polri juga harus menyadari adanya kenyataan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) POLRI yang terbatas tidak mungkin mampu mengamankan masyarakatnya yang demikian besar jumlahnya, maka oleh karena itu Polri membutuhkan partisipasi masyarakat. Agar tercipta partisipasi masyarakat tersebut maka Polri terlebih dahulu harus dipercayai dan dicintai oleh masyarakat.
Perubahan paradigma polisi sipil atau non militer yang berfungsi menjalankan salah satu fungsi pemerintahan menyebabkan kedudukan kepolisian dalam organisasi negara menjadi salah satu faktor yang memiliki pengaruh dominan dalam penyelenggaraan kepolisian secara proporsional dan professional sebagai syarat pendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik dapat terwujud manakala didukung oleh penyelenggara fungsi pemerintahan yang baik. Dengan demikian, penyelenggaraan kepolisian yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan akan dapat mendukung pemerintahan yang baik bila terwujud kepolisian yang baik (good police) kedudukan kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden.
Dikaji dari cara memperoleh wewenang, kewenangan kepolisian diperoleh secara atributif, artinya wewenang tersebut bersumber pada UUD 1945, UU No. 2 Tahun 2002 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Philippus M. Hadjon mengatakan, bahwa wewenang atributif artinya wewenang yang bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang menganut sistem presidensiil yang harus menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah UUD 1945, seperti dikemukakan oleh Soewoto Mulyosudarmo (2004: 7) bahwa konsekuensi dari sistem presidensil yaitu sebagai sistem yang menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah UUD 1945.
Selain itu, dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden bertanggungjawab atas penyelenggaraan keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum.
Dalam teori ketatanegaraan, bagi negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil negara dipimpin oleh seorang Presiden dalam jabatannya selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Dikaitkan dengan makna kepolisian sebagai “alat negara” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, berarti kepolisian dalam menjalankan wewenangnya berada di bawah Presiden selaku Kepala Negara.
Pada sisi lain, fungsi kepolisian yang mengemban salah satu “fungsi pemerintahan” mengandung makna bahwa pemerintahan yang diselenggarakan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada kepolisian, terutama tugas dan wewenang di bidang keamanan dan ketertiban. Sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa Presiden adalah pimpinan tertinggi penyelenggaraan administrasi negara.
Penyelenggaraan administrasi negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, salah satunya adalah tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum. Konsekuensi dari menjalankan salah satu fungsi pemerintahan tersebut, maka kedudukan kepolisian berada di bawah Presiden yang secara ketatanegaraan tugas pemerintahan tersebut adalah merupakan tugas lembaga eksekutif yang dikepalai oleh Presiden.
Dengan demikian, tidak perlu ada reposisi institusi Polri menjadi dibawah kementerian atau institusi apapun, dan penunjukan Kapolri harus tetap melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wujud partisipasi dan pengawasan rakyat. Pentingnya pengawasan legislatif terhadap eksekutif sebagai bagian dari prinsip checks and balances
Kerangka Reformasi Kepolisian
Upaya Reformasi Kepolisian harus tetap dalam kerangka reformasi yang tertuang dalam TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut TAP MPR VII/2000 TAP MPR VII/2000 menegaskan:
a) Polri sebagai alat negara di bidang keamanan dalam negeri;
b) Polri berada di bawah Presiden;
c) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Artinya, reformasi kepolisian dipahami sebagai penyempurnaan fungsi, kewenangan, dan tata kelola, bukan memindahkan kedudukannya ke bawah kementerian lain. Mengubah kedudukan ini akan menyentuh fondasi reformasi sektor keamanan yang telah disepakati secara nasional. Reformasi Polri yang harus dilakukan adalah yang bersifat kultural bukan struktural. Karena masalah penegakan hukum kita bukan pada struktur atau subtansi aturan tapi pada budaya atau kultural aparat penegak hukum kita. Reformasi kultur terhadap institusi polri dapat dilakulan terhadap beberapa hal antara lain :
- Tranfaransi dan akuntabilitas dalam rekrutmen Anggota Polri
- Menggeser pendekatan dari paradigma “otoritatif-represif” menjadi “pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat” secara nyata dalam SOP dan pelatihan.
- Penguatan akan pemahaman HAM anggota Polri
- Tansparansi dan akuntabilitas dalam penempatan jabatan di dalam lembaga polri
- Penguatan pengawasan secara kelembagaan baik internal dan eksternal. Dari berbagai pemaparan tersebut, didapat kesimpulan, 1. Reformasi terhadap institusi Polri dilakukan yang bersifat kultural bukan struktural. Struktur kepolisian dibawah Presiden adalah amanat konstitusi dan reformasi. 2. Reformasi terhadap Institusi Polri yang bersifat kultural adalah reformasi terhadap prilaku kepolisian yang bersifat profesional yang memahami tugas dan fungsi kepolisian yang, mengayomi, melayani dan melindungi masyarakat.(red)


















