BANDARLAMPUNG – Wacana ukur ulang lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sugar Group Companies (SGC) yang digagas Komisi II DPR-RI, mendapat tanggapan akademisi dari Universitas Tulang Bawang (UTB) Provinsi Lampung, Dr. Topan Indrakarsa, S.H.,M.H., dan Rudi Antoni, S.H., M.H.

Menurut Topan Indra Karsa, gagasan wacana ukur ulang yang didasari oleh pengaduan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada Komisi II DPR-RI adalah langkah yang tidak elok. Langkah ini dinilainya sangat mencederai nilai-nilai keadilan.

Mengapa ? “Karena keputusan yang diambil merupakan kebijakan politik. Hal ini bisa membuat keraguan para investor terhadap adanya kepastian hukum dalam melakukan investasi di negara ini, khususnya di Provinsi Lampung,” tutur Topan Indrakarsa, Sabtu, 26 Juli 2025.

Dijelas Topan Indrakarsa, keberadaan PT. SGC selama ini sudah sangat dirasakan manfaatnya bagi negara dan masyarakat, baik dari sisi bisnis maupun sosial. Dari sisi bisnis, misalnya. PT. SGC merupakan salahsatu penyuplai kebutuhan gula nasional yang kualitasnya sangat memenuhi standar.

Sementara secara sosial, PT. SGC sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian di masyarakat. Selain banyak menampung puluhan atau ratusan ribu tenaga kerja, berbagai program-program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. SGC, seperti penyediaan pendidikan gratis, pelatihan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, manfaatnya sangat dirasakan masyarakat, khususnya yang ada di Provinsi Lampung.

“Jadi jangan sampai investasi pada PT. SGC yang sudah berjalan selama ini malah menjadi terganggu oleh adanya kebijakan seperti wacana ukur ulang lahan HGU yang digagas oleh Komisi II DPR-RI,” pungkas Topan Indrakarsa lagi.

Hal senada dikatakan Dosen Fakultas Hukum (FH) UTB, Rudi Antoni. Menurut Rudi, pihaknya merasa tidak keberatan adanya ukur ulang lahan milik berbagai perusahaan. Tapi syaratnya harus sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.  

Dalam hukum agraria urainya tidak diperkenankan pengukuran ulang dilakukan karena kesewenang-wenangan. Mekanisme pengukuran ulang lahan HGU, hanya bisa dilakukan melalui permohonan pemegang hak atau melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inckrah).

Jadi tidak bisa kebijakan ukur ulang lahan HGU PT. SGC hanya didasari lantaran adanya desakan suatu kelompok atau karena keputusan politik, seperti yang digagas Komisi II DPR-RI. Kebijakan politik ini tidak ada dasar hukumnya.

Hanya dengan adanya permohonan dari pemilik lahan atau karena adanya putusan pengadilanlah yang bisa dijadikan acuan dan dasar hukum untuk pengukuran ulang oleh BPN. Tidak boleh yang lain.

“Dengan demikian silakan jika ada pihak yang merasa keberatan terhadap keberadaan lahan HGU PT. SGC untuk melakukan gugatan melalui jalur peradilan. Biar pengadilan yang menyelesaikan. Ini baru langkah yang benar. Jika memang kita semua menganggap bahwa hukum adalah panglima,” tegas Rudi Antoni.

Seperti diketahui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Lampung Hasan Basri Nata Menggala menjelaskan rencana pengukuran ulang lahan  milik PT. SGC saat rakor Pemprov Lampung, Forkopimda Lampung, serta Instansi Vertikal dan BUMN, Rabu 16 Juli 2025.

Menurut Hasan Basri, pihak Kementerian ATR/BPN, Selasa 15 Juli 2025 telah mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Hal ini menindaklanjuti laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Dijelaskannya, PT. SGC secara umum ada empat perusahaan. Yakni PT. Sweet Indo Lampung (SIL), Garuda Panca Arta, dan Indo Lampung Perkasa, yang lokasinya ada di Kabupaten Tulang Bawang (Tuba). Lalu Gula Putih Mataram posisinya ada di Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng). Dari empat perusahaan ini, ada 25 bidang dengan total luas 84.523,919 ha. 

Untuk di Kabupaten Tuba luas lahan sekitar 70.028,408 ha. Sementara di Kabupaten Lamteng luas lahan 14.495,511 ha.

Hasil RDP salahsatunya menyimpulkan bahwa Kementerian ATR/BPN diminta melakukan pengukuran ulang sesuai ketentuan dan aturan yang ada. Diantaranya untuk melakukan pengukuran ulang HGU  adalah harus membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Kemudian untuk pengukuran, harus dimohonkan oleh pemilik hak. Atau pemilik hak menyetujui dan tidak keberatan jika Kementerian ATR/BPN mengukur atas inisiatif perintah RDP. Sebab mengenai batas-batas pihak merekalah yang mengetahui dan bertanggungjawab.

Jadi kesimpulan tindak lanjutnya, ada pada Komisi II. Karena ini terkait juga dengan pemberian anggaran.

Hasan Basri pun memperediksi berdasarkan hasil perhitungan kasar, untuk mengukur lahan sekitar luas 84 ribu hektar dibutuhkan biaya hampir Rp10 miliar. Ini belum mencakup mobilisasi orang dan mobilisasi alat.

Mobilisasi orang diperlukan karena kewenangan mengukur lahan seluas itu adalah Kementerian. Pasalnya peralatan pengukuran lahan seluas itu, di Lampung belum mencukupi.

Sementara itu, ditanya terkait hasil RDP Komisi II DPR RI yang meminta Kementerian ATR/BPN mengukur ulang HGU PT. SGC, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal mengakui mengikuti keputusan yang ditetapkan.

“Belum tahu, nanti kita tanya. Kita ikut keputusan saja,” ujarnya, Rabu 16 Juli 2025.(red/net)