Menghadapi Pemilu 2019 yang bersifat serentak pada tahun ini, banyak perangkat yang harus disiapkan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam pesta demokrasi nasional tersebut. Penulis mengidentifikasi setidaknya terdapat 3 (tiga) aktor yang terlibat dalam gelanggang Pemilu 2019. Pertama, pemilih. Keberadaan pemilih sebagai subyek Pemilu selalu dipersepsikan secara statistik (numerical) bukan secara substansial yang menentukan arah pilihan mereka. Pada negara-negara di dunia ketiga seperti Indonesia dengan sistem politik demokrasinya selalu menggunakan indikator partisipasi politik sebagai tolak ukur keberhasilan dan kualitas sebuah Pemilu. Semakin besar grafik partisipasi masyarakat dalam pemilihan maka akan secara otomatis memperkuat legitimasi pemimpin yang terpilih dan begitupun sebaliknya, semakin kecil grafik partisipasi masyarakat dalam pemilihan maka akan memperlemah legitimasi pemimpin yang terpilih dengan asumsi bahwa kepercayaan yang diamanahkan kepada pemimpin yang menang dalam pemilu bukanlah suara mayoritas dari rakyat.

Fenomena yang menyelimuti Pemilu di negeri ini adalah tingginya angka golput. Padahal jika kita cermati ada 2 (dua) asumsi mengapa seorang yang telah memenuhi syarat untuk memilih menjadi golput yaitu (1) perilaku tidak ikut serta dalam Pemilu dengan alasan bahwa Pemilu tidak akan dilaksanakan secara demokratis, atau hasil dari Pemilu tidak akan merubah keadaan, tidak akan membuat kondisi menjadi lebih baik, atau malah menjadi lebih buruk; (2) ketidakikutan warga dalam Pemilu karena alasan teknis-administratif; tidak terdaftar atau tidak mendapat surat panggilan untuk ikut memilih. Kita sebut kelompok ini sebagai kelompok non-partisipasi. Tinggi atau rendahnya partisipasi politik pemilih mengidentifikasikan sampai sejauh mana masyarakat kita “sadar politik” dan ikut bertanggung jawab dalam menentukan wajah bangsa ini pada beberapa tahun ke depan. Trend penurunan partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu perlu menjadi perhatian semua pihak. Semua pihak harus berperan aktif menumbuhkan kepercayaan publik agar masyarakat makin berminat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019.

Kedua, peserta. Pasca adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara yuridis sebagai kompilasi 3 (tiga) aturan terdahulu yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang�Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang�Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, telah dibuka ruang yang lebih luas bagi para peserta pemilu. Peserta pemilu dengan berbagai kelebihan dan kelemahan yang melekat padanya terdiri dari a) partai politik untuk DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; b) calon perseorangan untuk DPD RI; dan c) pasangan calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Ketiga, penyelenggara. Penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang kesemuanya bersifat tetap, juga bersifat nasional dan mandiri untuk KPU dan Bawaslu. Pada konteks Pemilu 2019 maka penyelenggaranya adalah KPU sebagai penyelenggara teknis dan Bawaslu sebagai pengawasnya, sementara DKPP bertugas menangani pelanggaran kode etik lembaga tersebut. Sebagai salah satu elemen yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemilu, kredibilitas KPU dan Bawaslu jelas dipertaruhkan. KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang mengatur, menilai, mengendalikan, mengawasi jalannya pemilihan umum baik di tingkat pusat maupun daerah dituntut untuk dapat bersikap tegas, idealis, mengayomi serta menyelesaikan persengketaan secara bijak berdasarkan aturan yang berlaku.

Pemilih sebagai Penentu dalam Pemilu

Sebuah kran demokrasi yang terbangun pada sandaran awal reformasi 21 tahun yang lalu adalah sebuah konsekuensi logis dari kebebasan berserikat dan sebuah mekanisme terbukanya ruang publik yang seluas-luasnya. Jika kemudian konsekuensi tersebut dipahami sebagai sebuah tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka selayaknyalah kalau kemudian demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari Pemilu sebagai sarananya.

Pemilu sebenarnya adalah prosedur dalam pergantian kekuasaan dari berbagai macam prosedur pemilihan kepala pemerintahan yang banyak dikenal. Yang terpenting adalah bagaimana nasib kebijakan publik ke depan, apakah ada dialog dan ruang publik untuk mempertemukan kepentingan rakyat dan pemerintah atau wakilnya di parlemen. Dan, substansi inilah yang lebih ditekankan sebagai penerapan dari demokratisasi.

Pemilih dalam Pemilu kali ini memiliki peranan politik dan strategis yang sangat signifikan. Ini juga berarti calon/kandidat tidak akan mudah memperalat atau bahkan mendoktrin pemilih dengan program-program dan janji-janjinya di saat kampanye. Pemilih sebagai subyek jangan melulu dianggap sebagai angka-angka dalam matematika politik. Posisi dan peranan pemilih lebih menentukan dibanding para “pemain/aktor” Pemilu lainnya seperti calon/kandidat (partai politik/perorangan/pasangan calon), kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa atau bahkan uang/materi lainnya.

Jangan Golput!
Memandang pesta demokrasi nasional tahun 2019, marilah kita bersama-sama menimbang, sudah berkurangkah makna demokrasi di negeri ini? Demokrasi yang tidak hanya melihat persentasi jumlah suara pemilih yang mencapai angka tertentu untuk ikut memilih, demokrasi yang tidak melihat jumlah golput yang sedikit, dan demokrasi yang tidak melihat jumlah persentasi suara terbanyak yang dimiliki partai tertentu, dan calon yang keluar menjadi pemenang pemilu. Demokrasi yang tidak hanya melihat hasil, tetapi lebih memandang proses berdemokrasi yang benar sesuai dengan etika dan aturan moral universal.

Penulis mengajak agar para pemilih memanfaatkan dan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019 mendatang. Pilihan anda akan menentukan masa depan pembangunan bangsa ini lima tahun ke depan, dan pemilih yang tak mengetahui mengapa dan untuk apa Pemilu diadakan serta bagaimana mereka selayaknya berpartisipasi (menggunakan atau tak menggunakan hak pilih mereka), akan sangat mudah termobilisasi. Jangan hanya mengikuti arus dan menjadi penonton tanpa kesadaran sehingga pilihan kalian bisa digunakan pihak lain (partai dan calon) untuk membuat masa depan itu menjadi redup, bahkan gelap gulita. Dalam keadaan seperti itu, pemilih tak lagi menentukan.

Wallahu�alam bisawab.