LAMPUNG – Selama hampir satu bulan, 24 perempuan asal Nusa Tenggara Barat (NTB) hidup terkatung-katung. Bahkan sempat disembunyikan dalam ruang bawah tanah saat petugas datang melakukan penggerebekan.

Begitu kisah getir itu diceritakan NA (38), satu dari 24 wanita tersebut kepada wartawan di Mako Polda Lampung, Senin (11/6).

Awal mulanya, ia diiming-iming bekerja di Dubai dengan gaji tak kurang dari 10 juta per bulan. Tawaran itu datang dari seorang wanita yang menjadi pegawai binatu (laundry) yang ternyata juga salah satu perekrut jaringan TKA ilegal.

Tergiur dengan gaji besar, ia lalu bersedia membuat komitmen pada 3 Mei 2023. NA kemudian diberangkatkan ke Jakarta menggunakan pesawat bersama para calon pekerja migran lainnya. Tapi diantara mereka tak ada yang saling mengenal satu sama lainnya.

Sampai di Jakarta, mereka disambut oleh DW. Dan kemudian membawa mereka ke wilayah Bogor, Jawa Barat.

“Kami dua pekan di Bogor. Di perumahan. Saya nggak tau tempatnya, dan milik siapa itu,” ungkapnya.

Selama 2 pekan ia dan calon pekerja lainnya tinggal di rumah tersebut tanpa ada kejelasan keberangkatan meski sudah memiliki paspor.

Karena kondisi yang tak menentu, NA mengaku sempat sakit dan harus diinfus sebanyak dua botol.

Pada 31 Mei 2023, ia menceritakan jika rumah itu digerebek petugas.

�Saya tidak tahu apakah itu petugas imigrasi atau kepolisian. Kita dibawa sembunyi oleh teteh. Saya nggak tahu nama aslinya, dibawa ke ruangan bawah tanah,” katanya.

Usai lolos dari penggerebekan itu, para calon pekerja migran ini diperintahkan berbenah dan dibawa ke Lampung.

Keberangkatan menuju Lampung itu dilakukan secara terpisah. Kata NA, ada yang menggunakan mobil berisikan 6 orang.

Kemudian di sebuah SPBU sebelum Pelabuhan Merak, para korban ini lalu dikumpulkan dan diangkut menggunakan bus. Bus lalu menyeberang ke Lampung dengan kapal Ferry.

NA mengatakan, pengawas yang ikut bersama mereka melarang agar para korban tidak turun dari bus selama penyeberangan.

“Di atas kapal itu kita semua dilarang untuk turun dari bus, tapi kami tak bisa karena kami ingin buang air kecil,” katanya.

Mereka dijaga begitu ketat. �Bahkan pengawas perempuan itu ikut masuk ke kamar mandi untuk mengawasi selama di kamar kecil.

Perjalanan darat itu lalu berakhir di sebuah rumah besar tidak terurus yang belakangan di ketahui milik oknum polisi yang berada di Jalan Padat Karya, Kecamatan Rajabasa pada Jumat (2/6/2023).

NA menuturkan tetangga rumah sempat bertanya apakah mereka rombongan siswa sekolah atau TKW (tenaga kerja wanita).

“Ada satu orang yang jawab TKW,” kata NA.

Pengawas yang dipanggil Teteh itu sempat mendengar dan memarahi temannya itu.

“Kenapa dijawab? Kenapa nggak diam aja?” kata NA menirukan bentakan pengawas itu pada temannya.

Dua hari di rumah itu, anggota polisi dari Kepolisian Daerah Lampung datang dan mengevakuasi mereka.

NA mengaku lega dan bersyukur. Begitu juga teman-teman nya yang lain lantaran mendapatkan kejelasan setelah terombang-ambing dan dilempar ke sana kemari oleh para pelaku.

“Saya ucapkan terima kasih kepada Polda Lampung kami sudah diselamatkan, saya berharap bisa pulang secepatnya ke rumah,” kata NA.

Diberitakan sebelumnya, sebanyak 24 warga NTB diselamatkan dari upaya perdagangan orang saat transit di Lampung. Informasi polisi, calon pekerja migran Indonesia (PMI) ini hendak diselundupkan ke wilayah Timur Tengah.

Wakil Direktur Direktorat Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda Lampung AKBP Hamid Andri Soemantri mengatakan 24 PMI tersebut diselamatkan dari rumah penampungan di wilayah Kecamatan Rajabasa pada Senin (5/6/2023). Mirisnya, rumah itu ternyata milik seorang perwira polisi. (red)