BANDARLAMPUNG – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila), menuding Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandarlampung, Dedy Triyadi, S.E.,S.H, tak bertanggung-jawab. Ini terkait adanya Maskot Pilkada Bandarlampung berupa Hewan Monyet memakai Baju Adat Lampung yang menimbulkan banyak protes hingga berujung laporan polisi.
Dimana Dedy Triyadi dinilai telah “lepas tangan”. Dan menyatakan bahwa maskot itu merupakan keputusan tiga juri, yakni budayawan, Isbedy Stiawan. akademisi Unila, Dr. Budiono, S.H., M.H dan Ketua Divisi Sosialisasi dan Parmas KPU Bandarlampung, Hamami, S.H. Dimana keputusan dewan juri ini final dan mutlak. Sementara pihaknya hanya tinggal menetapkan hasil saja dari dewan juri tersebut.
“Mestinya Ketua KPU Bandarlampung menyadari penetapan maskot pilkada di lakukan olehnya, sehingga dialah yang mesti bertanggung jawab secara penuh terhadap keputusan yang diambil. Dewan juri hanya memberi penilaian peserta yang mengikuti sayembara maskot. Hasil penilaian diberikan ke Ketua KPU Bandarlampung yang berwenang menetapkan. Jadi, apabila Ketua KPU merasa ada yang kurang tepat, ia mampu melakukan upaya preventif dengan mengevaluasi sebelum ditetapkan,” tegas Ketua BEM FH Unila, Ammar Fauzan, Jumat, 30 Mei 2024.
Ammar Fauzan yang merupakan mahasiswa FH Unila angkatan 2020 ini berharap Ketua KPU Bandarlampung mampu segera menyelesaikan kegaduhan akibat ditetapkan maskot tersebut. Sebab, lagi-lagi nama baik Ketua KPU dipertaruhkan.
“Apabila tak mampu selesaikan persoalan, akan memperburuk citra kelembagaan yang berakibat terhadap legitimasi berjalannya pilkada maupun lembaga KPU Bandarlampung. Lagi pula, juri yang memberikan penilaian terhadap peserta sayembara maskot dipilih KPU Bandarlampung. Sebaiknya Ketua KPU Bandar Lampung melakukan evaluasi diri dan juga kelembagaan, dan tidak menyalahkan pihak lain dalam kegaduhan yang ada,” tegas Ammar Fauzan lagi.
Seperti diketahui Ketua KPU Kota Bandarlampung, Dedy Triyadi, sebelumnya menjelaskan soal maskot pilkada berupa hewan Kera atau Monyet memakai baju adat Lampung yang belakangan menimbulkan polemik dan berujung laporan polisi. Menurut Dedy, dipakainya maskot itu berawal dari penunjukan tiga juri. Pertama budayawan, Isbedy Stiawan. Lalu, akademisi Universitas Lampung (Unila), Dr. Budiono, S.H., M.H. Serta Ketua Divisi Sosialisasi dan Parmas KPU Bandarlampung, Hamami, S.H.
“Keputusan dewan juri final dan mutlak, kami hanya menetapkan hasil dari dewan juri,” ungkap Dedy Triyadi via What-Apps, Rabu, 29 Mei 2024.
Sementara itu, Dr. Budiono, mengaku jika pihaknya, sifatnya hanya mengusulkan maskot tersebut dipakai untuk Pilkada Kota Bandarlampung 2024.
“Selanjutnya yang menetapkan atau memutuskan adalah KPU Bandarlampung melalui rapat pleno,” ujarnya.
Disisi lain, praktisi hukum yang juga Ketua Umum Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI), Wiliyus Prayietno S.H, M.H., memohon kepada Tokoh Budaya, Irjen.Pol Dr. Ike Edwin, S.H., M.H. Mantan Kapolda Lampung yang dikenal dekat dengan masyarakat ini diharapkan dapat terus mengawal penuntasan kasus Maskot Pilkada Monyet Pakai Baju Adat Lampung di Polda Lampung.
Selain itu, dengan ketokohannya sosok Ike Edwin yang dikenal sebagai penggiat anti korupsi, diharapkan dapat mendesak aparat penegak hukum dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI. Khususnya agar mengusut penggunaan anggaran serta profesionalitas KPU Bandarlampung.
“Jika bapak Ike Edwin turun langsung, kami yakin kasus ini akan dapat atensi aparat penegak hukum seperti Polda Lampung,” ujar Wiliyus Prayietno, Selasa, 28 Mei 2024.
Menurut Wiliyus, sosok Ike Edwin gelar Gusti Batin Raja Mangku Negara, diketahui memiliki kepedulian yang tinggi pada pelestarian budaya, serta dikenal sebagai tokoh anti korupsi.
“Karenanya, suara dan kepedulian beliau dapat terus mengawal kasus ini sangat diharapkan, agar dapat didengar dan ditindaklanjuti aparat penegak hukum,” mohon Wiliyus yang bersama Ike Edwin pernah bersama-sama mendaftar sebagai Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun yang lalu.
KPU Bandarlampung sendiri akhirnya menetapkan tahapan Pilkada Serentak 2024 tanpa maskot. Ini guna menghindari polemik dan protes yang berkembang. Dimana maskot Pilwakot yang sebelumnya diluncurkan berupa hewan Kera atau Monyet mengenakan pakaian adat Lampung dianggap telah melukai dan menghina masyarakat adat. Sehingga memicu penolakan dan berujung pelaporan polisi.
“Saya mengapreasi sikap KPU Bandarlampung yang meniadakan maskot Pilkada Bandarlampung guna meredam gejolak di masyarakat Lampung,” ujar Advokat Peradi Bandarlampung, Hengki Irawan, S.P.,S.H., M.H., Senin, 27 Mei 2024.
Meski demikian, menurut Ketua LSM Ketua Poros Pemuda Indonesia (PPI) Provinsi Lampung tersebut, KPU Bandarlampung tak bisa serta merta menghilangkan tanggungjawab. Misalnya terkait anggaran dana lomba maskot serta acara jalan sehat launching maskot dan jingle Pilkada yang pasti menguras anggaran keuangan negara.
“Jika begini sia-sia semua. Anggaran negara, uang rakyat terbuang dihambur-hamburkan percuma untuk pengadaan dan launching maskot pilkada yang akhirnya tak digunakan. Karenanya sudah sepantasnya aparat penegak hukum, baik Kejati-Polda lampung, atau Kejari- Polresta Bandarlampung mengusut penggunaan anggaran KPU Bandarlampung,” tegas Hengki Irawan.
Tak hanya itu. Hengki Irawan meminta DKPP) RI untuk juga memeriksa KPU Bandarlampung terkait etika dan profesionalitas kinerja mereka.
“Bagaimana bisa KPU menggelar lomba menetapkan maskot Pilkada. Lalu mengadakan launching maskot dan jalan sehat meriah dengan anggaran fantastis. Terus kemudian maskot-nya ditiadakan. Ini menunjukan KPU Bandarlampung tak profesional. Untuk diingat anggaran yang dipakai buat itu semua, anggaran negara, uang rakyat, bukan milik nenek moyangnya. Jadi sudah sepantasnya juga DKPP RI pro-aktif memeriksa masalah ini,” pungkasnya.(red)