BANDARLAMPUNG � Adanya fakta persidangan soal �keterlibatan� Bupati Lampung Selatan (Lamsel) dan Ketua DPRD, Nanang Ermanto dan Hendri Rosyadi yang disebut �kecipratan� fee proyek, menarik perhatian tokoh masyarakat yang juga advokat di Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie. Menurut Alzier, sudah semestinya fakta yang terungkap pada sidang korupsi di Pengadilan Tipikor kelas 1 A Tanjungkarang dengan terdakwa dua mantan Kadis PUPR Lamsel Syahroni dan Hermansyah Hamidi, Rabu (24/3/2021), segera disikapi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Caranya dengan menaikkan status pihak-pihak yang disebut sebagai tersangka.

�Saya kira ini perbuatan mereka yang disebut-sebut �kecipratan� fee proyek, jelas masuk ranah tindak pidana korupsi, misalnya bisa berupa gratifikasi. Dan ini menjadi tugas penyidik KPK untuk mengembangkannya,� tutur Alzier yang juga merupakan Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW-NU) Lampung, Jumat (26/3).

Menurut Alzier apapun alasan Nanang Ermanto, yang mengaku tak pernah terlibat pengaturan proyek, namun hanya mengaku menerima uang dari mantan Bupati Lamsel, Zainudin Hasan, tidak dapat dibenarkan. Pasalnya sebagai penyelenggara negara dimana saat itu dirinya menjabat sebagai Wakil Bupati Lamsel, Nanang Ermanto telah mendapat gaji, tunjangan serta fasilitas dari negara. Sehingga sangat dilarang untuk meminta atau menerima hadiah dari pihak lain dalam bentuk apapun.

�Karenanya, sangat tidak elok pengakuan tersebut. Dan ini sudah menjadi tugas penyidik KPK melakukan pengembangan perkara dengan menetapkan tersangka baru. Apalagi jelas ada pengakuan dan pengembalian uang dari Nanang Ermanto. Untuk diketahui pengembalian uang itu tidak menghilangkan perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan. Namun hanya menjadi salahsatu pertimbangan yang dapat meringankan dalam melakukan penuntutan,� tambah Alzier.

Seperti diberitakan, dalam kesaksiannya, mantan anggota DPRD Lampung, Agus Bhakti Nugroho (ABN), mengaku pernah memberikan fee proyek Lamsel ke Nanang Ermanto. Namun dikesaksiannya, Nanang Ermanto mengaku jika dia mengetahui uang yang diberikan merupakan uang pribadi Bupati Zainudin Hasan. Selama dua tahun tersebut, Nanang Ermanto total menerima uang kurang lebih Rp930 juta, baik yang diterima dari ABN, Anjar Asmara, maupun Syahroni.

�Uang itu saya tahunya pribadi Zainudin, yang jelas dengan kesepakatan komitmen saya akan mintanya. Untuk yang Agus, nilai yang pernah diminta melalui ABN jumlahnya lupa, tapi itu tidak tiap hari. Kadang dua bulan tergantung kebutuhan saya,� kata Nanang Ermanto seperti diberitakan sinarlampung.co.

Jaksa KPK kemudian membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) nomor 8, dimana dalam BAP itu menyatakan Nanang Ermanto pernah menyampaikan langsung ke Bupati Zainudin Hasan baik lewat ponsel maupun langsung memerintahkan ABN untuk ditindaklanjuti. Kemudian Nanang membenarkan adanya BAP tersebut.

�Uang Rp100 juta dari ABN saya lupa. Ada catatan dalam buku nilainya Rp150 juta yang diserahkan 20 Januari 2017, selanjutnya diserahkan lagi Rp50 juta. Catatan ini dilaporkan ke Bupati, bahwa sudah menerima uang, kemudian uang lainnya saya tidak ingat,� ujar Nanang.

JPU KPK juga mengeluarkan buku yang berisi catatan dokumen pengeluaran tertulis dari Nanang dengan rincian Rp50 juta, Rp25 juta, lalu tanggal 4 Mei 2017 Rp20 juta, wakil bupati 18 Mei 2017 Rp25 juta, 16 Juni 2017 Rp20 juta, 19 Juni 2017 Rp50 juta, 24 Juni 2017 Rp20 juta, 7 Juli 2017 Rp20 juta, dan 9 Juli 2017 Rp10 juta.

Dan Nanang membenarkan adanya dokumem catatan. Namun untuk Uang Rp150 juta dari Zainudin Hasan lewat ABN, soal Rp10 juta pada Mei 2017, Nanang lupa semuanya. Selanjutnya pada BAP nomor 27 terkait aliran pada Mei 2017 senilai Rp10 juta dari Hermansyah, lalu Rp20 juta dari Syahroni ada lagi Rp25 juga dari Syahroni. Selanjutnya Juni 2018 dari ABN senilai Rp50 juta, Juli 2018 100 juta, dan Rp50 juta dari ABN.

Kemudian Nanang pernah menerima uang tiga kali dari ABN senilai Rp300 juta. Total keseluruhan tahun 2017 dan tahun 2018 yang diterima senilai Rp480 juta dan Rp450 juta. Nanang pernah meminta dibelikan ruko di Sukarame, untuk dijadikan kenang-kenangan saat dirinya selesai menjabat. Namun ruko itu batal dibelikan karena suatu hal, lalu penggantinya uang Rp150 juta dan 250 juta melalui Syahroni.

Nanang Ermanto juga mengaku dirinya tidak pernah terlibat proyek di Lampung Selatan. �Saya enggak pernah terlibat proyek atau dapat jatah proyek. Hanya saja, ada janji politik jika di daerah saya perolehan suara menang, jalan di daerah rumah saya akan diaspal,� ujar Nanang.

Ketika disinggung terkait jumlah uang yang pernah diterima terkait proyek tersebut, Nanang mengatakan tak mengetahui hal itu.� �Saya enggak tau itu uang apa, tapi pernah dikasih Rp50 juta itu pas Ibu saya meninggal dunia. Katanya uang duka bantuan dari bapak Bupati. Uang itu sudah saya kembalikan ke KPK,� kilahnya.

Sementara, Ketua DPRD Lamsel Hendry Rosyadi pernah disebut menerima uang satu kardus berisi uang Rp2 miliar lebih pada sidang lalu mengatakan dirinya memang mengenal sosok Syahroni, yakni sebagai pegawai PUPR.� �Saya tau dia pegawai Dinas PU, itu saja yang saya tau,� ungkap Hendry.

Ditanya soal sejumlah komitmen fee proyek, Hendry mengatakan tidak pernah menerima hal itu.� �Enggak pernah menerima pak,� singkatnya.

Jaksa KPK kembali mencecar beberapa pertanyaan, terkait pertemuan dengan Zainudin Hasan dan juga ABN. Apakah dirinya memiliki supir yang biasa dipanggil dengan sebutan Pakde.� �Enggak pernah pak. Saya memang ada supir, tapi kalau dipanggil Pakde saya enggak tau,� ujarnya.

�Apakah adanya pembagian jatah untuk tim sukses Zanudin Hasan?� Cecar JPU KPK. �Enggak ada,� timpal Hendry.

Menurut Hendry, dirinya hanya membantu kontraktor lokal yang ingin bekerja di Lamsel. Selanjutnya para asosiasi kontraktor tersebut berhubungan dengan Dinas PUPR Lamsel secara langsung.

�Saya cuma bantu rekanan lokal yang mau kerja, susahnya mereka komunikasi sendiri saya enggak tau,� aku Hendry.(red)