METRO – Dulu transaksi di jalan, kini digital (online). Inilah pergeseran praktik prostitusi yang terjadi di sejumlah daerah akibat revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang melanda dunia.
Tim investigasi mencoba menyelisik keberadaan bisnis esek-esek di Kota Metro dengan melakukan indepth reporting (reportase mendalam) selama kurang lebih empat hari, untuk mencari kebenaran adanya praktik prostitusi online.
Di Metro sendiri, dalam kurun waktu enam bulan terakhir, aparat kepolisian setempat berhasil membongkar praktik sejenis dengan mengamankan mucikari yang menjajakan anak asuhnya via aplikasi WhatsApp kepada para pria hidung belang.
Kasus terbaru adalah perdagangan manusia berkedok biduan dangdut dengan tersangka Yuyun Niasari selaku mucikari. Pasca terbitnya berita tersebut pada edisi 8 Juli 2019 lalu, Tim investigasi mendapat informasi dari masyarakat akan maraknya praktik serupa di Bumi Sai Wawai.
Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, ternyata, hanya dengan bermodal android, para penjaja cinta di Kota Pendidikan ini dapat dengan mudah ditemui. Cukup dengan menginstal aplikasi yang bisa diunduh secara gratis pada laman Play Store.
“Aplikasinya MiChat, yang kemarin heboh di surabaya kan pakai ini juga. Sama saja di sini (Metro) juga gitu. Bandar Lampung apalagi. Sebenarnya di grup facebook juga ada, twitter, cuma yang paling mudah dan aman pakai ini, lagi hits juga. Gampang lagi,” ujar Jantan, bukan nama sebenarnya.
Pria yang baru dua tahun tinggal di Metro ini mengungkapkan, MiChat memiliki keunggulan dari aplikasi lainnya karena menyediakan layanan distance (jarak). Sehingga pengguna bisa langsung terhubung dengan pengguna lainnya yang berada dalam satu wilayah.
Jantan menjelaskan, cukup mudah untuk mengenali user yang menjajakan diri dengan pengguna umum. Dimana mereka biasa menggunakan kode dalam profile atau status. Adapun istilah yang kerap dimunculkan di antaranya BO (Booking Order), ST (Short Time), LT (Long Time), dan lainnya.
“Kalau untuk harga itu variatif sih. Tapi bersahabat lah, dan masih bisa nego juga. Tergantung komunikasi kita gimana. Bisa minta kirimin foto dulu, karena ada beberapa yang pake profilnya beda. Biar gak jebakan batman. Intinya sih mudah, karena kalau enggak cocok, tinggal ganti yang lain,” urainya.
Tim investigasi pun mencoba aplikasi MiChat untuk mencari keberadaan penjaja cinta di Kota Pendidikan. Dengan mengaktifkan tombol lokasi terdekat, dalam sekejap, profil para user langsung terurut mulai dari lokasi yang paling dekat dengan posisi pengguna hingga yang terjauh.
Dan benar, tidak sulit ternyata untuk membedakan antara akun pekerja seks online dan pengguna biasa. Hari pertama percobaan, tim investigasi langsung terkoneksi dengan penjaja cinta yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari lokasi akses.
Dara, bukan nama sebenarnya, membuka biaya sebesar Rp400 ribu untuk jasa plus-plus sekali main. Dengan sedikit negoisasi, wanita ini pun bersedia menurunkan harga. “Bisa. Rp350 ribu. Tempat di kos aku,” ujarnya membalas chat.
Dari hari pertama hingga keempat menggunakan aplikasi MiChat, setidaknya Tim investigasi mendapat tujuh respon akun penjaja cinta yang memberi harga terang-terangan berikut lokasi COD (Cash On Delivery). Ada yang menyiapkan kos, ada juga yang hanya bersedia di hotel.
Adapun tarif yang ditawarkan rata-rata berkisar Rp350 ribu hingga Rp500 ribu (setelah tawar menawar) untuk sekali kencan. Sementara untuk layanan lebih lama atau LT, mulai dari harga Rp 800 ribu ke atas hingga jutaan.
Hasil penelusuran Tim investigasi, setidaknya ada 11 akun yang menawarkan jasa esek-esek secara gamblang atau dengan mudah ditebak, mulai dari jarak terdekat (ratusan meter) hingga radius dua kilo meter saat mengakses MiChat dari Taman Merdeka.
Sementara, Polres Kota Metro mengaku terungkapnya kasus prostitusi online karena adanya bantuan dari masyarakat yang menginformasikan pihak kepolisian bahwa di Bumi Sai Wawai sudah marak perdagangan orang menggunakan media sosial.
“Dari kasus yang ada, para pelaku ini menggunakan biasa fb dan whatsapp,” beber Kasat Reskrim Polres Kota Metro Ajun Komisaris Gigih Andri Putranto, Kamis (18/7/2019).
Ia menilai, ada kemungkinan terjadi pergeseran pola dalam kasus perdagangan manusia.
“Dulunya biasa menjajakan diri secara face to face atau tatap muka, saat ini sudah beralih ke media sosial. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Kami sedang mendalami kasus ini, agar citra Metro sebagai Kota Pendidikan bisa bersih dari maraknya perdagangan orang,” imbuhnya.
Gigih mengaku, untuk memutus jaringan esek-esek online pihak kepolisian tidak bisa bekerja sendiri, perlu bantuan dari masyarakat untuk memutus jaringan prostitusi online yang beredar di Kota Metro. Namun upaya yang akan dilakukan pihaknya dengan cara memperluas jaringan yang sudah ada.
“Kami akan melakukan patroli cyber secara rutin oleh anggota. Kemudian kami akan memantau nama-nama yang diindikasikan terlibat sebagai pelaku perdagangan orang di Metro,” tuntasnya.
Rumah Kos Lebih Hemat
Tak hanya itu, praktik esek-esek ini juga menjanjikan keuntungan yang tak sedikit, dalam sebulan hingga mencapai Rp 20 Juta. Keuntungan fantastis, bisnis esek-esek kerap tumbuh subur di berbagai kota, seperti halnya di Bumi Sai Wawai.
Manja (bukan nama sebenarnya), salah seorang pekerja seks online yang menawarkan diri melalui MiChat berhasil diwawancarai Tim investigasi. Secara gamblang ia menceritakan rata-rata pendapatannya sejak beralih profesi sebagai penjaja tubuh.
Setiap hari, perempuan bertubuh sintal ini mengaku mendapat minimal satu pelanggan. Namun, jika dirata-rata per bulan, order yang ia terima mencapai tiga sampai lima orang per harinya selama 20 hari kerja.
“Paling banyak tuh pernah tujuh orang sehari. Cuma kalau sudah dapat lima, biasanya pelanggan yang lain aku cancel aja. Karena lumayan capek. Kalau harga sih minimal Rp 300 ribu untuk sekali yah, tapi lihat orang juga sih, kalau lebih dewasa Rp 400 ribu,” paparnya.
Jika dihitung rata-rata angka minimal order per hari dan dikalikan 20 hari kerja, maka puluhan juta sudah pasti mengalir ke kas Manja. Wanita ini pun tidak menampik jika per bulan penghasilannya bisa mencapai Rp20 juta.
“Ya kira-kira gitu lah. Kalau untuk pengeluaran sih cuma untuk bayar kos aja, sama makan. Niatan berhenti sih ada, cuma nanti kalau sudah cukup. Ada keinginan beli rumah sama mobil,” terangnya yang mengaku baru 10 bulan menjalankan profesi tersebut.
Wanita yang dulunya bekerja sebagai penjaga toko ini menjelaskan, rumah kos jauh lebih aman dan hemat ketimbang hotel. Dimana para pelanggannya tidak lagi dibebankan harus membayar sewa tempat seperti hotel.
Namun demikian, bukan berarti rumah kos nyaman. Karena dirinya pernah diangkut Satpol PP saat razia.
“Tapi tetap aman lah. Karena cuma didata saja. Habis itu pulang. Waktu itu pas lagi sama pelanggan juga, cuma ya gitu aja,” imbuhnya.
Saat ditanya mengenai para pria hidung belang yang pernah memakai jasanya, Manja tidak pernah mengusik pekerjaan atau latar belakang mereka. Dirinya lebih memilih untuk bersikap profesional dengan mengikuti gaya masing-masing pelanggannya.
Namun, ia menjelaskan, user terdiri dari seluruh kalangan. Mulai dari remaja, pelajar atau mahasiswa, hingga orang dewasa alias om-om. Selama ini, Manja hanya mau bertransaksi di rumah kos yang ia siapkan, tapi ada pengecualian khusus untuk pelanggan tetap.
“Enggak pernah tanya-tanya sih, yang penting saya ramah. Ada yang mau cerita dulu, ya kita dengar, ada yang mau langsung, ya kita ikutin. Ada sih yang aneh, minta macam-macam lah. Aku ikut sebisa mungkin, kalau masih normal ya, cuma kalau udah aneh betul, aku gak mau,” imbuhnya.
Perempuan berkulit kuning langsat ini menambahkan, dirinya bekerja sendiri tanpa mucikari.
“Aku sendiri. Cuma kalau tahu online ini, memang dari teman. Ya emang betul sih, untungnya besar. Tapi tetap aku ada target lah, siapa sih yang mau kerja gini terus,” tuturnya.
Di Metro sendiri, bisnis esek-esek online bukan barang baru. Dimana dalam kurun waktu enam bulan terakhir, aparat berhasil membongkar praktik sejenis dengan mengamankan mucikari yang menjajakan anak asuhnya via aplikasi WhatsApp kepada para pria hidung belang.
Kasus terbaru adalah perdagangan manusia berkedok biduan dangdut dengan tersangka Yuyun Niasari selaku mucikari. Tersangka dibekuk pada 17 Juni 2019, saat bertransaksi di salah satu hotel yang berada di kawasan Metro Timur.
Dengan modus menawari kliennya wanita untuk dibooking via WhatsApp. Yuyun memiliki dua ‘anak’ asuh. Yakni AM (18) dan MB (16) yang masih berstatus di bawah umur.
Sebelumnya, Polres Metro juga membekuk H (38) dan LR (23) warga Punggur, Lampung Tengah pada 23 Desember 2018. Keduanya bertindak sebagai mucikari. LR ditangkap saat akan menawarkan seorang wanita kepada pelanggan di salah satu hotel di wilayah Metro Barat.
Polisi kemudian melakukan pengembangan dan mengamankan H. Dari keterangan pelalu, mereka telah memiliki enam anak didik yang sering ditawarkan lewat WhatsApp kepada para pelanggan yang berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, wiraswasta, hingga pejabat.
H menjelaskan telah menjalankan bisnis tersebut kurang lebih dua tahun. Dirinya mendapatkan keuntungan Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per orang. Tarif satu wanita yang ia tawarkan ke lelaki hidung belang sebesar Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu.
Menanggapi hal itu, Ketua DPRD Kota Metro Anna Morinda angkat bicara. Ia menilai urusan prostitusi harus menjadi perhatian semua pihak.
“Satpol PP dan instansi lain sudah sering razia dan kami menerima laporannya. Itu patut diapresiasi. Tapi ternyata, masalahnya tidak selesai hanya dengan razia. Makanya semua pihak harus terlibat,” imbuhnya.
Perlu Upaya Pencegahan Bersama
Anna sendiri menyangsikan jika para pekerja seks online merupakan penduduk asli Metro. Namun, Bumi Sai Wawai tidak bisa menolak arus urban sebagai sebuah kota yang pasti bakal memiliki konsekuensi negatif dari sebuah perubahan.
Namun demikian, masalah tersebut harus didalami. Terutama pemilik rumah kos harus melaporkan pada pamong 1×24 jam tamu yang datang. Demikian pula warga, untuk memperhatikan kehadiran warga lain di sekitar lingkungannya.
“Tentu kita tidak ingin, jangan sampai terjadi kasus yang kita tonton di tv nasional, terjadi pembunuhan di rumah kost, ada mutilasinya, gara-gara masalah-masalah begitu. Tapi saya yakin..kita masih bisa melakukan kontrol bersama. Karena masyarakat Metro ini terkenal kegotongroyongannya,” imbuhnya.
Tak jauh berbeda, Sekretaris MUI Kota Metro Nasrianto Effendi menilai pamong, RT, pemilik kos, dan masyarakat harus peduli terhadap keadaan sekitarnya. Sehingga mempersempit ruang gerak dan potensi baik kriminal maupun maksiat.
“Kalau untuk penegakan hukum, itu kita serahkan kepada aparat berwenang. Karena online itu kan ada juga hukum yang mengatur. Ada ITE, UU pornografi, sampai KUHP, kalau untuk penegakan,” ujarnya via sambungan telepon.
Namun untuk pencegahan, perlu upaya bersama, mulai dari razia Satpol PP, sampai pendataan pengguna kos harus secara konsisten dilakukan. Pun demikian mereka yang terjaring, wajib dilakukan pembinaan.
Pembinaan bukan sekedar wejangan, tapi pemberian pelatihan, konseling, dan lainnya. Dengan harapan tidak berbuat kembali. Karenanya, diperlukan data induk, siapa saja yang pernah terkena razia, melakukan perbuatan maksiat, dan telah dilakukan pembinaan plus konseling.
“Karena kalau dalam Islam, seperti di Aceh ada hukuman cambuk, ada juga yang dinikahkan, tapi kan kita tidak bisa seperti itu. Cuma, memang perlu ada sanksi juga. Misal, dikeluarkan dari kos, dan rumah kos lain pun diberi tahu, semacam black list lah,” ujarnya.
Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengedalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Metro Prayetno sepakat jika masalah penanggulangan pekerja seks dilakukan semua pihak. Meski hal tersebut bukan tupoksi dinasnya.
“Kalau penanggulanan PSK itu Satpol PP dan Dinas Sosial. Kami lebih kepada perlindungan. Misal ada korban pelecehan, nah itu kita mendampingi. Seperti kasus perdagangan manusian kemarin, tapi masalahnya itu kan warga Lampung Tengah, memang ditangkapnya di Metro,” tandasnya.
Kini masyarakat berharap agar dugaan praktik prostitusi terselubung di Kota Metro dapat segera menemukan solusi. Pemerintah diminta memiliki formulasi dalam menanggulangi persoalan sosial tersebut. (Arby/TIM)