JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) untuk mengatur secara tegas jumlah minimal anggota perempuan di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama mengatakan, selama ini aturan hanya menyebutkan pentingnya memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

“Selama ini dalam pasalnya hanya menyebutkan memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen, baik di KPU, Bawaslu, maupun DKPP,” ujar Heroik dalam diskusi daring yang digelar Perludem, Minggu (10/8/2025).

Namun, ketentuan itu dinilai belum menjamin terpenuhinya jumlah perempuan di keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, Heroik menilai bahwa revisi UU Pemilu perlu langsung menetapkan angka pasti terkait jumlah minimal anggota perempuan di masing-masing lembaga.

Untuk KPU di tingkat nasional, Peludem mengusulkan minimal terdapat tiga anggota perempuan. Sementara di KPU provinsi, kabupaten, dan kota, jumlahnya minimal dua orang.

“Begitu juga di Bawaslu, kami langsung atur dalam naskah usulan kodifikasi di buku kedua ini, ketentuan afirmasinya sekurang-kurangnya dua orang untuk Bawaslu RI dan provinsi,” kata Heroik.

Usulan serupa juga berlaku untuk DKPP untuk memastikan sekurang-kurangnya dua orang anggota perempuan di lembaga tersebut.

“Itu yang pertama berkaitan dengan keanggotaan, terkait aspek keterwakilan perempuan,” kata Heroik.

Heroik berharap pengaturan afirmasi yang tegas ini akan memperkuat representasi perempuan di lembaga penyelenggara pemilu dan menghindari praktik formalitas dalam memenuhi kuota 30 persen. Revisi UU Pemilu DPR RI telah menetapkan revisi UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas untuk 2025. Namun, sampai saat ini proses pembahasan RUU Pemilu belum juga mulai dilaksanakan.

Pada 26 Juni 2025 lalu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pembahasan lebih lanjut soal rencana RUU Pemilu belum dilaksanakan karena masih didiskusikan secara informal antara pimpinan dan anggota fraksi-fraksi di DPR RI.

“Mungkin untuk RUU Pemilu belum kita bahas pada sidang ini karena kita masih juga secara informal berbicara antar fraksi. Karena baru sekali ini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan adanya rekayasa konstitusi,” ujar Dasco di Gedung DPR RI, 26 Juni 2025.

Meski begitu, Dasco belum menjelaskan secara terperinci hasil pembahasan sementara di antara fraksi-fraksi di DPR karena belum mencapai keputusan yang final. “Ya, ini masih ada pembicaraan informal yang tentunya belum bisa kita sampaikan ke publik. Karena kalau kita sampaikan belum hal yang final, nanti akan menimbulkan dinamika yang tidak perlu,” kata dia.

Selain itu, Dasco menegaskan bahwa DPR RI harus berhati-hati dalam menindaklanjuti putusan MK yang menjadi dasar diharuskannya revisi UU Pemilu. Putusan MK yang dimaksud adalah Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden serta Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.

Meski begitu, Rapat Paripurna DPR RI pada 27 Juni 2025 telah menyetujui agar kodifikasi dan kompilasi paket Undang-Undang (UU) Pemilu hingga Partai Politik masuk dalam Peraturan DPR tentang Rencana Strategis (Renstra) DPR 2025-2029.(red/kompas.com)