BANDARLAMPUNG – Mantan Wakil Walikota Bandarlampung, Yusuf Kohar mengkritik wacana adanya ukur ulang lahan milik PT. Sugar Group Companies (SGC) sebagaimana digagas Komisi II DPR-RI. Menurutnya negara Indonesia ini akan hancur, apabila laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan keputusan politik, menjadi acuan dalam penentuan kebijakan. Jadi tidak lagi mengacu pada peraturan hukum dan perundang-undangan yang ada.

“Yang jelas negara kita ini negara hukum. Semuanya berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Termasuk pengukuran lahan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Pengukuran ulang lahan HGU tetap berdasarkan keputusan pengadilan atau permohonan pemilik,” tegas Yusuf Kohar, Jumat, 25/7/2025.

Diuraikannya, jika ada pihak-pihak seperti LSM yang keberatan dan memiliki data dan bukti yang berbeda terhadap besaran lahan HGU perusahaan, makanya sudah sepatutnya untuk melakukan upaya gugatan perdata atau perbuatan melawan hukum  di Pengadilan Negeri (PN) setempat. Jadi bukan justru melakukan langkah politis dengan melaporkan atau membuat pengaduan ke lembaga legislatif dalam hal ini DPR-RI dan mendesak dilakukan ukur ulang lahan. Nantinya keputusan pengadilanlah yang memiliki kekuatan hukum tetap, yang akan menjadi acuan.

“Ukur ulang HGU itu bisa dilakukan karena adanya putusan pengadilan atau adanya permohonan pemilik HGU itu sendiri. Inilah aturannya. Tidak bisa diasumsikan lain. Investasi itu butuh kepastian hukum dan konduksifitas. Bukan ukur ulang berdasarkan omon atau katanya data berbeda. Sebagai negara hukum, segala tindakan pemerintah dan warga negara harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan. Tidak terkecuali dalam hal pertanahan seperti penerbitan dan pengukuran HGU,” jelasnya.

Dilanjutkannya Sertifikat HGU merupakan bukti kepemilikan hak yang sah dan diterbitkan oleh negara melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN)/Kementerian ATR. Proses penerbitan atau perpanjangannya melibatkan serangkaian prosedur yang ketat, cermat, dan berjenjang. Mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat. Proses ini memakan waktu karena memerlukan verifikasi dokumen yang lengkap serta koordinasi dengan instansi terkait.

“Jadi sekali lagi terkait isu pengukuran ulang lahan HGU, hukum agraria di Indonesia telah menyediakan mekanisme jelas. Pengukuran ulang tak dapat dilakukan secara sepihak atau hanya berdasarkan asumsi dan klaim yang belum teruji kebenarannya. Tapi atas permohonan pemegang HGU itu sendiri atau berdasar perintah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan demikian, apabila ada pihak, baik masyarakat maupun entitas lain, yang meyakini bahwa data luas atau batas HGU yang terdaftar di BPN tak akurat, mereka memiliki hak menempuh jalur hukum. Pihak itu harus mengajukan gugatan ke pengadilan dengan membawa bukti yang valid untuk mendukung klaimnya. Beban pembuktian ada pada pihak yang menggugat. Pengadilan akan menguji semua bukti yang diajukan sebelum mengeluarkan putusan,” papar Yusuf Kohar lagi.

Prinsip ini lanjutnya sangat penting untuk menjamin kepastian hukum yang merupakan pilar utama bagi iklim investasi yang kondusif.

“Jika pengukuran ulang dapat dilakukan hanya berdasarkan desakan publik atau klaim sepihak tanpa melalui proses peradilan, hal tersebut akan menciptakan ketidakpastian yang dapat merusak kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi,” pungkasnya.

Seperti diketahui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Lampung Hasan Basri Nata Menggala menjelaskan rencana pengukuran ulang lahan  milik PT. SGC saat rakor Pemprov Lampung, Forkopimda Lampung, serta Instansi Vertikal dan BUMN, Rabu 16 Juli 2025.

Menurut Hasan Basri, pihak Kementerian ATR/BPN, Selasa 15 Juli 2025 telah mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Hal ini menindaklanjuti laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Dijelaskannya, PT. SGC secara umum ada empat perusahaan. Yakni PT. Sweet Indo Lampung (SIL), Garuda Panca Arta, dan Indo Lampung Perkasa, yang lokasinya ada di Kabupaten Tulang Bawang (Tuba). Lalu Gula Putih Mataram posisinya ada di Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng). Dari empat perusahaan ini, ada 25 bidang dengan total luas 84.523,919 ha. 

Untuk di Kabupaten Tuba luas lahan sekitar 70.028,408 ha. Sementara di Kabupaten Lamteng luas lahan 14.495,511 ha.

Hasil RDP salahsatunya menyimpulkan bahwa Kementerian ATR/BPN diminta melakukan pengukuran ulang sesuai ketentuan dan aturan yang ada. Diantaranya untuk melakukan pengukuran ulang HGU  adalah harus membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Kemudian untuk pengukuran, harus dimohonkan oleh pemilik hak. Atau pemilik hak menyetujui dan tidak keberatan jika Kementerian ATR/BPN mengukur atas inisiatif perintah RDP. Sebab mengenai batas-batas pihak merekalah yang mengetahui dan bertanggungjawab.

Jadi kesimpulan tindak lanjutnya, ada pada Komisi II. Karena ini terkait juga dengan pemberian anggaran.

Hasan Basri pun memperediksi berdasarkan hasil perhitungan kasar, untuk mengukur lahan sekitar luas 84 ribu hektar dibutuhkan biaya hampir Rp10 miliar. Ini belum mencakup mobilisasi orang dan mobilisasi alat.

Mobilisasi orang diperlukan karena kewenangan mengukur lahan seluas itu adalah Kementerian. Pasalnya peralatan pengukuran lahan seluas itu, di Lampung belum mencukupi.

Sementara itu, ditanya terkait hasil RDP Komisi II DPR RI yang meminta Kementerian ATR/BPN mengukur ulang HGU PT. SGC, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal mengakui mengikuti keputusan yang ditetapkan.

“Belum tahu, nanti kita tanya. Kita ikut keputusan saja,” ujarnya, Rabu 16 Juli 2025.(red/net)