BANDAR LAMPUNG – Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) akan menggelar Seminar Nasional bertajuk “Konstitusionalitas Pemisahan Pemilu: Tantangan Legislasi dan Implementasi di Indonesia”.

Acara akan digelar pada Selasa, 14 Oktober 2025 Ruang Auditorium Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H, digelar mulai pukul 08.00-09.00 WIB.

Diskusi akan menghadirkan sejumlah tokoh penting. Yakni Dr. H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, S.Si., M.T. (Anggota DPR RI Komisi II). Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI itu akan memberikan pandangan tentang kebutuhan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada pasca Putusan MK. Serta menjelaskan dinamika politik hukum di parlemen dalam merespons perubahan desain pemilu. Menggambarkan konsekuensi pemisahan pemilu terhadap siklus legislasi, masa jabatan pejabat publik, dan hubungan pusat-daerah.

Pemateri selanjutnya Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem) Dr. Wendy Melfa. Mantan Bupati Lampung Selatan itu akan memberikan materi membahas peran masyarakat sipil dalam mengawal implementasi pemisahan pemilu.

Serta memberikan kritik dan rekomendasi untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Mengangkat isu-isu advokasi seperti perlindungan hak pilih, akses informasi, serta pengawasan publik terhadap proses penyelenggaraan.

Selanjutnya, pemateri akan menghadirkan salah satu kandidat terkuat Calon Rektor Unila yakni Dr. Budiyono, S.H., M.H. Akademisi HTN FH Unila. Akan membahas secara mendalam konstitusionalitas pemisahan pemilu berdasarkan Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024. Menguraikan dasar hukum dalam UUD 1945, khususnya Pasal 22E tentang pemilu dan implikasinya terhadap sistem presidensial. Serta, menjelaskan risiko deadlock konstitusional serta alternatif solusi normatif.

Dekan FH Unila Dr. M. Fakih, SH, MS, mengatakan bahwa latar belakang digelarnya Diskusi Nasional ini pemilihan umum merupakan sarana utama dalam mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945.

Sejak Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menetapkan pemilu serentak, pelaksanaan pemilu nasional dan daerah dilakukan dalam satu hari pencoblosan yang dikenal dengan istilah “pemilu lima kotak”.

“Harapannya, sistem ini dapat menyederhanakan penyelenggaraan, meningkatkan efisiensi, serta memperkuat sistem presidensial. Namun, praktiknya justru memunculkan sejumlah persoalan, mulai dari beban kerja yang berlebihan bagi penyelenggara, kompleksitas logistik, kelelahan pemilih, hingga tumpang tindih kepentingan antara agenda politik nasional dan lokal,”

“Perdebatan akademik dan praktis mengenai efektivitas pemilu serentak semakin mengemuka ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUUXXII/2024 pada 26 Juni 2025. Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dipisahkan dengan jarak waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan antara pelantikan pejabat hasil pemilu nasional dan penyelenggaraan pemilu daerah. Putusan ini sekaligus membatalkan ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu dan beberapa pasal dalam UU Pilkada yang selama ini menjadi dasar penyelenggaraan pemilu serentak,” tuturnya.

Konsekuensi dari putusan ini sangat luas. Dari sisi legislasi, DPR dan Pemerintah dituntut segera melakukan penyesuaian undang-undang agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dari sisi implementasi, penyelenggara pemilu harus menyiapkan skema baru yang melibatkan penjadwalan ulang, alokasi anggaran tambahan, hingga penataan logistik dan sumber daya. Selain itu, muncul pula kekhawatiran akan potensi deadlock konstitusional karena jadwal baru berimplikasi pada masa jabatan kepala daerah, anggota DPRD, serta sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah.

“Dengan kompleksitas tersebut, diperlukan forum akademik untuk mengkaji lebih dalam konstitusionalitas pemisahan pemilu, tantangan legislasi, serta problematika implementasinya. Seminar nasional ini diharapkan dapat menjadi ruang diskusi kritis dan konstruktif antara akademisi, praktisi hukum, penyelenggara pemilu, legislator, serta masyarakat sipil, sehingga lahir gagasan dan rekomendasi kebijakan yang mampu memperkuat demokrasi sekaligus menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia,” pungkasnya. (rls)