BANDARLAMPUNG – Perjuangan panjang advokat senior Syamsul Arifin, SH, MH, bersama Tim LBH Garuda Pattimura, akhirnya membuahkan harapan bagi empat warga kecil yang dituduh mencuri barang rongsok senilai Rp400 ribu, namun sempat diancam hukuman berat 7-9 tahun penjara menggunakan Pasal 363 KUHP.

Syamsul Arifin yang dalam kariernya pernah menangani perkara kelas kakap hingga menyentuh kalangan besar mengaku tergerak membela tanpa bayaran (pro bono) setelah melihat kenyataan pahit: empat orang yang hidupnya serba pas-pasan diekspose ke publik seolah “pencuri besar” dengan nilai kerugian disebut pemiliknya dan pihak kepolisian sampai Rp500 juta.

“Saya hanya membela rasa kemanusiaan. Mereka bukan penjahat. Mereka hanya mencari sisa-sisa besi tua untuk menyambung hidup keluarga,” ujarnya sebagaimana dilansir Helo Indonesia, Kamis (6/11/2025). 

Yang tak kalah penting, katanya, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang  telah seksama menganalisa fakta persidangan dan segala apa yang telah diutarakan dalam nota pembelaan dari Tim LBH Garuda Pattimura yang melalukan semua itu secara cuma-cuma alias gratis (pro bono) terhadap keempat warga susah.

Setelah melalui sidang yang panjang dan penuh pertarungan rasa keadilan, Rabu (5/11/2025), Majelis Hakim PN Tanjungkarang akhirnya memutuskan hukuman 7 bulan penjara, jauh lebih rendah dari tuntutan 2 tahun. Dipotong masa tahanan, tinggal 9 hari lagi mereka kembali ke keluarga yang telah “compang-camping.”

“Kami mengapresiasi majelis hakim yang telah mengikuti hati nurani dan rasa keadilan,” ujar Syamsul Arifin.

Yang membuat kasus ini begitu mengguncang, keempat terdakwa adalah tulang punggung keluarga. Selama mereka mendekam di tahanan, anak-anak mereka tidak terurus, bahkan salah satu istri terdakwa jatuh sakit karena beban mental dan ekonomi.

Syamsul Arifin dan timnya — Ziggy Zeaoryzabrizkie, SH, MH; Muhzan Zaini, SH; dan David Sihombing — mengetuk hati penegak hukum dari satu sidang ke sidang mengingatkan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat menindas rakyat kecil.

Kasus ini berawal dari keempat terdakwa — Minang, Dedi, Berry Yanto, dan Riki Saputra (DPO) masuk ke rumah kosong melalui pintu dapur yang tidak terkunci. Mereka mengambil barang bekas berupa velg colt diesel bekas, 1 dongkrak bekas, dan beberapa kepingan besi tua

Barang-barang itu kemudian dijual sebagai rongsokan. Nilainya? Hanya sekitar Rp400 ribu. Namun, pelapor menyebut kerugian Rp500 juta, narasi yang langsung mencoreng martabat para terdakwa sebagai “maling besar” bak koruptor.yang menghisap kekayaan rakyat miliaran hingga triliunan. 

Padahal, dalam persidangan terungkap: Harga besi tua hanya sekitar Rp6 ribu per kilo, velg bekas hanya Rp75 ribu per buah, dan AC bekas paling mahal Rp200 ribu. “Bagaimana mungkin barang sebesar itu bisa bernilai setengah miliar?” kata Samsul, memertanyakan logika hukum yang sempat berjalan timpang 

Syamsul mengingatkan Kapolresta Bandarlampung dan Kejari Bandarlampung agar benar-benar menjalankan semangat Restorative Justice, sebagaimana diatur:: Perkap No. 8 Tahun 2021 dan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020. “Hukum jangan lagi tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jangan lagi rakyat kecil jadi korban kriminalisasi,” tegasnya.

Kasus ini menjadi cermin: betapa tipisnya batas antara nafkah dan jerat hukum bagi mereka yang hidup dari sisa-sisa kehidupan orang lain. Dan betapa pentingnya kehadiran para advokat yang masih mau mendengar jeritan yang hampir tak terdengar.

Keadilan kadang tidak lahir dari naskah hukum, tapi dari hati yang tergerak. Hari ini, setidaknya, hati itu masih ada. (red/net)